Proteksi Genetis sebagai Respon terhadap Penyakit dalam Mekanisme Evolusi

Proses evolusi biologis yang telah berlangsung dalam waktu yang sangat lama telah membawa kesempurnaan bentuk fisik manusia seperti yang dapat dilihat sekarang ini. Perubahan bentuk fisik dari mulai Pithecanthropus erectus termasuk Meganthropus sampai ke jenis Homosapiens memperlihatkan dengan jelas bagaimana fase-fase yang terjadi dari sejak bentuk tubuh manusia masih menyerupai kera yang berjalan semitegak dengan tulang tengkorak yang masih menonjol dan kening yang tebal serta volume otak yang sangat terbatas sekitar 750-1300cc perlahan berkembang menjadi manusia yang ciri-ciri fisiknya sudah hampir menyerupai manusia yang ada sekarang dengan volume otak yang berkembang menjadi 1300-1600 cc. Proses perkembangan yang berlangsung sangat panjang ini, tidak selalu melalui fase yang benar-benar yang mulus. Dalam setiap fase yang berjalan, proses adaptasi dan seleksi genetis terus terjadi. Penyakit dipandang sebagai suatu unsur dalam lingkungan manusia yang berpengaruh pada proses evolusi manusia secara biologis dan kebudayaan (Anderson, 1986:15). Secara biologis sebenarnya penyakit dapat menjadi semacam mekanisme seleksi genetis. Penyakit memainkan peranan yang penting dalam sebuah proses evolusi. Penyakit-penyakit yang berkembang pada suatu periode tertentu terlebih yang sifatnya genetis atau menurun melalui gen terkadang dapat menyebabkan degradasi pada keturunan yang dilahirkan. Gen-gen yang mengandung penyakit ini akan terus terbawa selama proses pewarisan biologis. Meskipun gen tersebut hanya bersifat resesif tetapi akan selalu tetap tersimpan dan akan menurun pada berpuluh-puluh angkatan bahkan beratus-ratus angkatan berikutnya. Sifatnya akan kembali dominan saat bertemu dengan gen-gen yang memiliki ciri serupa. Contoh konkret terkait dengan degradasi keturunan akibat penyakit yang bersifat genetis adalah penyakit hemofili. Penyakit ini sifatnya menurun secara genetis tidak terbatas hanya pada angkatan-angkatan tertentu tetapi meluas pada seluruh anggota kerabat. Hemofili yang menurun secara genetis melahirkan keturunan-keturunan yang sangat rentan dengan daya tahan tubuh yang sangat rendah. Sedikit orang yang dapat bertahan hidup dengan normal bila mengidap penyakit ini. Apabila individu-individu baru ini nantinya berketurunan lagi maka gen akan terus diwariskan dan tentu saja akan semakin banyak individu lain yang mengalami hal serupa ini. Sebenarnya ada banyak jenis penyakit yang sifatnya genetis misalnya saja buta warna, dan hepatitis. Penyakit-penyakit ini menjadi masalah yang cukup serius untuk diperhatikan dalam satu proses evolusi biologis. Dalam paleopatologi yaitu studi mengenai penyakit manusia purba, dapat diperoleh satu gambaran penting bagaimana proses adaptasi biologis berlangsung pada tiap generasi. Timbulnya penyakit yang berbeda-beda dalam populasi yang berlainan menjadi satu indikator penting untuk melihat derajat kesehatan masyarakat yang bersangkutan. Penyakit-penyakit yang ada pada manusia purba dapat diidentifikasi melalui tulang-tulang yang ada. Misalnya kerusakan atau abses pada tulang sebagai akibat sifilis, tuberkolusis, frambasia, osteomilitis, poliomilitis, kusta dan sejenisnya merupakan jenis-jenis penyakit infeksi yang dapat dikenali begitu juga dengan penyakit semacam caries gigi, reumatik, ricketsia dan lain-lain. Sayangnya masih banyak jenis penyakit pada zaman purba yang sampai sekarang belum bisa teridentifikasi. Gambaran derajat kesehatan pada orang-orang di zaman paleolitikum dapat dilihat dari studi J. Lawrence Angel yang menggunakan indikasi berupa berat rata-rata tengkorak dan gigi yang tanggal saat meninggal. Dari sini Angel berhasil mengembangkan sebuah profil tentang perkembangan standar kesehatan manusia dalam kurun waktu 30.000 tahun terakhir. Angel menemukan bahwa pada awal periode, tinggi laki-laki rata-rata mencapai 177 cm (5 kaki 11 inchi) dan wanita 165 cm (5 kaki 6 inchi). Dua puluh tahun kemudian, laki-laki tumbuh tetapi tidak bisa melebihi tinggi wanita di zaman dulu (165 cm), sedangkan wanita tumbuh tak lebih dari 153 cm (5 kaki). Hanya pada beberapa kurun waktu belakangan ini karakteritsik manusia kembali seperti manusia pada zaman batu tua. Gigi yang tanggal juga menunjukan kecenderungan serupa. Pada 30.000 tahun SM, seorang dewasa meninggal dengan kehilangan rata-rata 2,2 persen dari giginya. Pada Tahun 6500 tahun SM, 3,5 % gigi hilang dan 6,6 persen semasa Romawi. Faktor genetik memiliki pengaruh yang besar pada kondisi gigi serta tinggi badan seseorang. Hal ini terkait juga dengan asupan makanan. Perubahan yang terjadi ini juga tidak terlepas dari depresi kesehatan yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang muncul serta tekanan hidup yang cukup berat pada masa paleolitik awal. Penyakit-penyakit yang ada sekarang ini demikian bervariasinya dan jika dihubungkan dengan bukti-bukti lain seperti tingkah laku gen dan virus menunjukan bahwa banyak penyakit-penyakit modern tidak terdapat pada penduduk masa paleolitik dan spektrum dari penyakit-penyakit yang menyerang manusia sepanjang sejarah perkembangannya kemungkinan lebih kecil daripada yang dialmai pada pada masa sejarah (Black, 1975:515). Sebenarnya bisa dikatakan kalau penyakit-penyakit yang diderita oleh manusia purba disebabkan oleh jenis-jenis patogen dan faktor lingkungan yang jumlahnya lebih sedikit dari yang dialami oleh manusia modern. Penyakit semacam campak, rubella, cacar, dan gondong, kemungkinan tidak dapat dijumpai pada zaman purba. Dari bukti-bukti yang terdapat pada sisa-sisa masyarakat pemburu dan peramu yang masih ada seperti misalnya orang Bushman di Afrika Selatan dan Aborigin Australia, menunjukan bahwa pola penyakit yang ada atau berkembang dalam komunitas mereka cenderung lebih mengikuti pola penyakit manusia purba daripada pola penyakit manusia modern (Polunin, 1967:70). Pada masa prehistori, populasi masyarakat berburu dan meramu jumlahnya sedikit, terdiri dari kelompok yang paling banyak berjumlah 200-300 orang. Jumlah ini terlalu kecil untuk membentuk suatu reservoir bagi kelangsungan eksistensi jenis-jenis penyakit infeksi seperti cacar, typhus, desentri, kusta dan lain-lain. Dalam populasi yang kecil, tidak ada kesempatan bagi patogen untuk bertahan hidup dan menginfeksi. Kesehatan masyarakat pemburu dan peramu secara positif sebenarnya juga dipengaruhi oleh kebiasaan nomadik mereka. Jumlah orang yang sedikit dan senantiasa berpindah-pindah, memperkecil kemungkinan untuk menginfeksi diri akibat kotoran mereka sendiri atau akibat hal-hal lain dibandingkan dengan populasi besar yang menetap yang jikamengalami infeksi endemik hampir tidak mungkin lagi membasminya karena kurangnya pelaksanaan sanitasi lingkungan yang paling modern (Anderson,1999:19). Penyakit-penyakit infeksi merupakan faktor terpenting dalam proses evolusi selama dua juta tahun atau lebih melalui mekanisme evolusi dan proteksi genetiik, maka nenek moyang kita dapat mengatasi ancaman-ancaman penyakit dalam kehidupan individu dan kelompok (Armelagos dan Dewey, 1970). Ternyata penyakit-penyakit yang muncul dalam gen manusia dapat membentuk semacam resistensi sebagai bentuk peningkatan frekuensi dari suatu gen adaptif yang dapat menghilangkan pembatas lingkungan dan memberi perkembangan adaptasi yang lebih lanjut (Wiesenfel, 1967:317). Penyakit-penyakit yang semula diderita oleh individu pada akhirnya dapat membantu individu itu sendiri untuk mengembangkan kemampuannya untuk survive dalam menghadapi keterbatasan-keterbatasan pada lingkungan yang ada. Fakta ini jelas terlihat pada munculnya gen yang memberikan resistensi terhadap malaria dalam suatu populasi di Afrika Barat. Di Amerika ketika itu dikenal satu penyakit baru yang dikenal sebagai anemia sel sabit (sickle-cell anemia) yang terutama menulari orang-orang kulit hitam dibanding kelompok ras lainnya. Penyakit tersebut ditandai oleh sel darah merah yang mengambil bentuk sabit (sickle), tidak bulat seperti biasa dan bersifat genetik. Sebagian besar individu yang mengembangkan penyakit tersebut mati muda dan penyembuhannya belum diketahui. Lebih banyak lagi yang mati adalah orang kulit hitam yang menyimpan dalam dirinya ciri-ciri dalam bentuk gen yang terpendam yang diwariskan pada anak-anak mereka tanpa mengganggu kesehatan mereka. Ciri-ciri sel sabit ini disadari sebagai ancaman yang gawat bagi penduduk kulit hitam di AS. Di daerah Afrika Barat ternyata ciri-ciri genetis tersebut memberikan proteksi yang tinggi bagi individu-individu yang menghadapi gigitan nyamuk anopheles. Daerah Afrika Barat memang menjadi salah satu daerah yang menjadi endemik penyakit malaria. Malaria menjadi ancaman serius yang sangat mengancam keberlangsungan hidup organisme manusia di daerah ini Malaria menjadi semacam problem traumatis yang selalu memunculkan kekhawatiran mendalam bagi penduduk. Hal ini disebabkan oleh perkembangbiakan nyamuk anopheles gambiae yang luar biasa besarnya semenjak terjadi perubahan ekologis besar-besaran akibat penebangan hutan sebagai lahan pertanian. Sel sabit menjadi semacam imunitas atau sistem kekebalan tubuh yang menjaga keberlangsungan hidup individu dan menghilangkan kekhawatiran akan dampak penyakit tersebut. Jika di satu sisi penyakit dapat menjadi penyebab degradasi keturunan, di sisi lain sebenarnya penyakit dapat menjadi sarana seleksi genetis yang cukup signifikan untuk menghasilkan invidu-individu baru yang lebih berpotensi secara biologis. Individu-individu yang kuat dan memiliki daya imunitas yang tinggilah yang akan mampu bertahan dalam suatu kasus penyakit yang mewabah, misalnya epidemi kolera. Individu-individu yang mampu bertahan memiliki karakteristik yang baik secara biologis.

~ by Dr Heru Noviat Herdata SpA on 20/07/2009.

Leave a comment